Rabu, 08 Juni 2011

Semoga Tak Mati Lampu

Ada yang bilang, konteks berkomunikasi ditentukan oleh darimana ia berasal, kepada siapa ia bergaul atau seberapa tinggi pendidikan mereka. Lalu bagaimanakah dengan konteks komunikasi jika dilihat dari perbedaan gender? Saya punya pengalaman menarik sekitar satu setengah tahun lalu, setelah pada malam hari menghadiri acara salah satu fakultas, dan pagi harinya jalan-jalan ke subang dengan beberapa kawan-kawan Bem. Terjadilah perbincangan saya dengan seorang teman yang entah Ia sedang berada dimana, karena dilakukan melalui pesan-pesan singkat.

A = teman saya, B = saya.

A : "bagaimana acaranya tadi malam?"
B : "bagus kok, saya senang bisa lihat disco ethnic,"
B : "tapi kok kacao ya…??"
A : "kacao bagaimana??"
--------beberapa perbincangan setelahnya di sensor, intinya teman saya jadi marah ---
A : "harusnya jangan se-enaknya men-generalisir dong,, saya gak terima.."
B : "iya, maaf, saya tak bermaksud begitu, apalagi menyeragamkan semua kacao."
A : "memangnya di sekitar kamu tidak kacao??"
------------------- ingin saya, sudahi saja perbincangan berjarak ini-------------

Ternyata tidak selesai disitu, pesan singkat beberapa kali masuk, dan berkali-kali saya minta maaf seraya mengonfirmasi masalahnya sudah clear. Sejujurnya, itu hanya kelebatan pengalaman saja, yang saya pun pada akhirnya tak peduli, kacao. Ternyata teman saya memberi sinyal tidak pada tak kepedulian saya, oh My God, apalah ini. Kalau diperhatikan dari isi pesannya, teman saya ini memberikan gambaran kurva, yang lambat meninggi namun lambat pula menurunnya. Sementara saya, setelah sekejap meninggi, namun berangsur menurun bahkan tersungkur.

Ya, teman saya ini seorang perempuan, dan saya lelaki. Kalau boleh dianalogikan, Perempuan Itu Kompor Listrik dan Lelaki Adalah Microwave. Kompor listrik lambat untuk mencapai puncak panasnya, dan mematikannya membutuhkan waktu yang lama. Microwave bisa langsung menyala dan bekerja dengan kemampuan penuh dalam beberapa detik saja, dan dapat dimatikan dengan cepat.

Untuk hal satu ini, kadang saya ingin seperti Kompor Listrik. Tak apalah lambat meninggi, namun lebih lama pada posisi terbaiknya, kokoh pada semangatnya, memerah pada nyalanya. Namun tetap saja, menjadi Microwave saya bahagia, karena hanya setelah pekerjaannya selesai ia baru berhenti memanas.. Yah, semoga saja tak mati lampu.



* dalam kerumitan perspektif teoritis interaksi simbolik, bergeser sedikit kepada Allan dan Barbara Pease – "Why Men Don't Listen and Women Can't Read Maps."


00.30
Di 3x3 pojok Alikhwan -25052011-
Aa Mutiara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar